Ada seorang kawan yang berkata padaku, "Kau sinis sekali" "Sinis terhadap?" tanyaku. "Semuanya. Pada hidup" jawabnya. Yah, siapa yang tidak jadi sinis jika melihat keadaan sekeliling? Tapi sesungguhnya, aku merasa bahwa tidak sinis pada hidup. Hidup itu berkah. Setiap lembar nafas adalah kesempatan. Mungkin keadaan yang menjadikan aku sinis, mungkin aku yang terlalu melankolis. Entahlah. Kalau ingat perkataan kawanku ini, aku jadi tergelitik untuk menuliskan hal-hal yang ku tanggapi dengan sinis. Siapa tahu setelah membaca tulisanku, aku bisa memutuskan, apakah memang aku sinis pada hidup atau kenyataan.
Aku jelas-jelas skeptis pada sistem. Sistem di negara ini, mulai sistem tata kota hingga pendidikan, tidak akan pernah membaik. Sudah terlalu terlambat untuk 'menyembuhkan' penyakit negara ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Dan, yah, menyesuaikan diri. Aku benci mengatakan hal ini tapi ini kenyataan. Berapa banyak orang idealis bisa bertahan? Kawanku yang mempertanyakan kesinisanku itu pun dulunya idealis. Tapi ia kini berada di ambang kekalahannya. Bagaimana mungkin bisa menang kalau musuhmu adalah orang-orang yang kau cintai? Bagaimana bisa menang kalau musuhmu adalah sistem? Di negri ini, kapasitas otak diukur hanya dengan beberapa lembar ijazah. Semakin banyak lembar ijazah yang kau punyai, semakin besarlah kapasitas otakmu di mata mereka. Sampah. Tapi kita bisa apa?
Aku skeptis pada usaha-usaha membuat wanita setara dengan pria. Setara. Hah. Utopis. Kau tahu mengapa menurutku hal ini, kesetaraan, tidak akan pernah terjadi? Karena konvensi. Sejak seorang wanita lahir, di dahinya ada cap : Wanita, bukannya : Manusia. Haha, terlalu keras? Aku hanya mengutarakan pendapatku. Tapi, hei, coba renungkan. Seberapa besar kesempatan seorang wanita untuk hidup bagi dirinya sendiri? Seumur hidup, seorang wanita hidup untuk orang lain. Kehidupan seorang wanita, selalu diatur oleh tangan-tangan lain yang memiliki kuasa. Norma. 'Kau ini wanita, jangan begitu', 'Hal itu tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita' merasa tidak asing dengan kalimat-kalimat ini? Yap. Setiap wanita yang mencoba hidup bagi dirinya sendiri akan dilabeli 'pembangkang', 'wanita nakal', 'menyalahi kodrat'. Haha. Setara? Tidak di injak-injak saja syukur.
Ke-skeptisan-ku yang baru-baru ini terbentuk adalah tentang pernikahan. Selama ini, aku merasa pernikahan adalah satu-satunya tiketku untuk dapat keluar dari kotak yang berlabel 'rumah'. Selama ini aku berharap, dengan menikah aku akan melihat dunia yang lebih luas. Mendaki gunung-gunung jauh, mencoba hal-hal baru, mengeluarkan 'diriku' yang selama ini tersegel rapat-rapat dalam kotak 'rumah'. Aku salah perhitungan. Ya, memang aku tidak harus minta ijin pada orangtua ku untuk melakukan sesuatu. Aku tak perlu ijin mereka untuk bernafas. Aku tak perlu lagi meminta ijin mereka untuk mendaki gunung, membaca ratusan buku, atau sekedar duduk berlama-lama di warung kopi menakjubi langit malam. Tapi aku perlu ijin suamiku. Ah, dan tentu saja segudang pekerjaan rumah yang tertumpah di bahuku akan menjadi batu sandungan atas exit permit ku untuk segala hal yang dulu ku khayalkan bisa kulakukan setelah menikah. Hmmm, pilihan apa yang kupunya? Melajang? Seperti yang kukatakan tadi, tidak akan menang jika melawan orang-orang yang kau cinta. Aku bahkan tak ingin menang, tak ingin melawan. Tak ingin menyakiti, tak ingin kehilangan.
Dan, pekerjaan apa yang cocok untukku? Aku skeptis aku akan menemukan pekerjaan yang benar-benar kucintai dan kulakukan dengan penuh dedikasi. Aku saja tak yakin apakah ada hal yang benar-benar kusukai.
Haha. Aku memang sinis. Tapi, biarlah. Toh aku baru 21 tahun. Mungkin beberapa tahun mendatang aku akan sudah bisa berdamai dengan diriku. Mungkin saat itu aku akan keheranan memandang wajah yang terpantul di depan cermin kaca riasku. Aku akan jadi istri yang 'baik', jadi wanita yang lebih 'jinak' dan mungkin aku akan benar-benar rela menjadi wanita. Ah, teringat teori Sigmund Freud tentang penis-envy, aku ingin berteriak lantang-lantang ke dalam kuburnya : Aku bukan penis-envy Mr. Freud, aku opportunity-envy!
Aku jelas-jelas skeptis pada sistem. Sistem di negara ini, mulai sistem tata kota hingga pendidikan, tidak akan pernah membaik. Sudah terlalu terlambat untuk 'menyembuhkan' penyakit negara ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Dan, yah, menyesuaikan diri. Aku benci mengatakan hal ini tapi ini kenyataan. Berapa banyak orang idealis bisa bertahan? Kawanku yang mempertanyakan kesinisanku itu pun dulunya idealis. Tapi ia kini berada di ambang kekalahannya. Bagaimana mungkin bisa menang kalau musuhmu adalah orang-orang yang kau cintai? Bagaimana bisa menang kalau musuhmu adalah sistem? Di negri ini, kapasitas otak diukur hanya dengan beberapa lembar ijazah. Semakin banyak lembar ijazah yang kau punyai, semakin besarlah kapasitas otakmu di mata mereka. Sampah. Tapi kita bisa apa?
Aku skeptis pada usaha-usaha membuat wanita setara dengan pria. Setara. Hah. Utopis. Kau tahu mengapa menurutku hal ini, kesetaraan, tidak akan pernah terjadi? Karena konvensi. Sejak seorang wanita lahir, di dahinya ada cap : Wanita, bukannya : Manusia. Haha, terlalu keras? Aku hanya mengutarakan pendapatku. Tapi, hei, coba renungkan. Seberapa besar kesempatan seorang wanita untuk hidup bagi dirinya sendiri? Seumur hidup, seorang wanita hidup untuk orang lain. Kehidupan seorang wanita, selalu diatur oleh tangan-tangan lain yang memiliki kuasa. Norma. 'Kau ini wanita, jangan begitu', 'Hal itu tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita' merasa tidak asing dengan kalimat-kalimat ini? Yap. Setiap wanita yang mencoba hidup bagi dirinya sendiri akan dilabeli 'pembangkang', 'wanita nakal', 'menyalahi kodrat'. Haha. Setara? Tidak di injak-injak saja syukur.
Ke-skeptisan-ku yang baru-baru ini terbentuk adalah tentang pernikahan. Selama ini, aku merasa pernikahan adalah satu-satunya tiketku untuk dapat keluar dari kotak yang berlabel 'rumah'. Selama ini aku berharap, dengan menikah aku akan melihat dunia yang lebih luas. Mendaki gunung-gunung jauh, mencoba hal-hal baru, mengeluarkan 'diriku' yang selama ini tersegel rapat-rapat dalam kotak 'rumah'. Aku salah perhitungan. Ya, memang aku tidak harus minta ijin pada orangtua ku untuk melakukan sesuatu. Aku tak perlu ijin mereka untuk bernafas. Aku tak perlu lagi meminta ijin mereka untuk mendaki gunung, membaca ratusan buku, atau sekedar duduk berlama-lama di warung kopi menakjubi langit malam. Tapi aku perlu ijin suamiku. Ah, dan tentu saja segudang pekerjaan rumah yang tertumpah di bahuku akan menjadi batu sandungan atas exit permit ku untuk segala hal yang dulu ku khayalkan bisa kulakukan setelah menikah. Hmmm, pilihan apa yang kupunya? Melajang? Seperti yang kukatakan tadi, tidak akan menang jika melawan orang-orang yang kau cinta. Aku bahkan tak ingin menang, tak ingin melawan. Tak ingin menyakiti, tak ingin kehilangan.
Dan, pekerjaan apa yang cocok untukku? Aku skeptis aku akan menemukan pekerjaan yang benar-benar kucintai dan kulakukan dengan penuh dedikasi. Aku saja tak yakin apakah ada hal yang benar-benar kusukai.
Haha. Aku memang sinis. Tapi, biarlah. Toh aku baru 21 tahun. Mungkin beberapa tahun mendatang aku akan sudah bisa berdamai dengan diriku. Mungkin saat itu aku akan keheranan memandang wajah yang terpantul di depan cermin kaca riasku. Aku akan jadi istri yang 'baik', jadi wanita yang lebih 'jinak' dan mungkin aku akan benar-benar rela menjadi wanita. Ah, teringat teori Sigmund Freud tentang penis-envy, aku ingin berteriak lantang-lantang ke dalam kuburnya : Aku bukan penis-envy Mr. Freud, aku opportunity-envy!
Komentar
Posting Komentar