Langsung ke konten utama

Setoran Hari Raya

Hari Raya memang hanya setahun sekali, tapi sesak yang dibawanya bisa terasa hingga hari raya berikutnya. Hari Raya adalah saat dimana kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, setor prestasi atau mati. Aku ingat, hari raya beberapa tahun lalu, saat aku dan sepupu-sepupu masih duduk di Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah.

Kala itu, prestasi seorang bocah diukur dari urutan nilai-nilai mata pelajarannya di kelas. Tak ada yang mengukur prestasinya dari seberapa banyak buku yang dibacanya atau seberapa banyak ia membantu orangtuanya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan muka orangtua adalah dengan ranking dan nilai rapor.

Ada jalan lain untuk menyelamatkan muka jika prestasimu sedang tidak bagus ketika sedang di-hisab di hari raya. Mengemis pemakluman. Seperti yang kulakukan sekali dulu, diwaktu hari raya saat aku duduk di tahun pertama Sekolah Menengah. Aku tak bernafsu bercerita panjang lebar mengenai hal ini, mengenai caraku mengemis pemakluman. Singkatnya, aku berkata bahwa aku sedang puber dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sekolah baru.

Tahun demi tahun aku berhasil menyetor prestasi yang membuat orangtuaku masih bisa mengangkat muka. Nilai rata-rata delapan koma lima. Masuk perguruan tinggi ternama. Tahun ini aku menyetor 'skripsi di tahun ketiga'. Aku tak tahu prestasi apa lagi yang bisa kusetor tahun depan. Aku kehabisan ide. Mungkin hari raya tahun depan pertanyaan para Mungkar-Nakir dunia itu akan berkembang dari cuma sekedar 'kapan lulus' menjadi 'sekarang kerja apa'. Dan mereka tidak akan memandang pekerjaan apapun yang begaji dibawah satu-setengah-juta.

Seorang sepupu dikucilkan orangtuanya dengan cara dilarang ikut 'yaumul hisab' - hari ketika semua amalan baik dan buruk kita di dadahkan dihadapan kita- karena bertahun-tahun ia wan-prestasi. Sepupuku tersayang ini baru menyelesaikan kuliahnya di usia dua puluh enam, dengan IP pas-pasan. Sudah setahun ia menganggur tanpa pekerjaan. Ah, aku yakin sebenarnya banyak perusahaan yang menanti Sarjana Teknik seperti dia, jika saja 'Keluarga Besar' tak menghendaki pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng.

Aku dihantui rasa was-was tentang apa yang akan terjaadi di hari raya tahun depan ketika aku baru tiga hari yang lalu memberi setoran. Aku was-was akan hari depan. Bagaimana jika skripsiku tak selesai di akhir semester? Bagaimana jika aku tak bisa mendapat pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng? Dan, yang paling kutakutkan, Bagaimana cara aku menjawab pertanyaan, "Pacarnya kerja apa? Kapan dilamar?"


DAMN!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedang Sinis

Ada seorang kawan yang berkata padaku, "Kau sinis sekali" "Sinis terhadap?" tanyaku. "Semuanya. Pada hidup" jawabnya. Yah, siapa yang tidak jadi sinis jika melihat keadaan sekeliling? Tapi sesungguhnya, aku merasa bahwa tidak sinis pada hidup. Hidup itu berkah. Setiap lembar nafas adalah kesempatan. Mungkin keadaan yang menjadikan aku sinis, mungkin aku yang terlalu melankolis. Entahlah. Kalau ingat perkataan kawanku ini, aku jadi tergelitik untuk menuliskan hal-hal yang ku tanggapi dengan sinis. Siapa tahu setelah membaca tulisanku, aku bisa memutuskan, apakah memang aku sinis pada hidup atau kenyataan. Aku jelas-jelas skeptis pada sistem. Sistem di negara ini, mulai sistem tata kota hingga pendidikan, tidak akan pernah membaik. Sudah terlalu terlambat untuk 'menyembuhkan' penyakit negara ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Dan, yah, menyesuaikan diri. Aku benci mengatakan hal ini tapi ini kenyataan. Berapa banyak orang idealis bisa b

On Clousure

Terkadang, sebuah hubungan hanya tidak berhasil, begitu saja. Tanpa kesalahan, tanpa penjelasan. Seperti kuntum-kuntum mawar yang tiba-tiba layu meskipun telah diusahakan begitu rupa. Kuntum-kuntum mawar telah dipupuk, disiram, dibelai dan dicintai setiap hari namun tetap saja mati. Sometimes, some people are lucky enough to get some clousure. Kalimat perpisahan yang menjadi titik pada kisah, yang kadang panjang kadang sekedarnya saja. Namun pada orang-orang yang kurang beruntung dalam berkisah cinta, kalimat penutup itu pun tak layak didapatkannya. Aku bisa dibilang salah satu dari ribuan ngengat-ngengat tak beruntung itu. Kalimat penutupan panjang mendayu-dayu, penjelasan permintaan pengertian, lalu pelukan pamitan, semua itu hanyalah angan semu yang hidup dalam imajinasi kami saja, ngengat-ngengat fakir cinta.  Jika waktunya tiba untuk memberi tanda titik pada sebuah hubungan dan aku tidak mendapatkannya, maka aku akan membuat ritual au revoir ku sendiri. Biasanya dimulai dengan men

Tentang Outta Box

Kau tahu sebuah kotak? Apa yang terjadi ketika kau masuk ke dalamnya? Gelap? Sempit? Atau mungkin kau merasa nyaman? Yang jelas,, aku tidak Aku benci terkotak-kotak. Dan orang-orang yang membuat kotak. Yah, yang jelas Tuhan juga tidak suka kotak. Dia membuat dunia ini bundar, bukan? Kau tau kenapa aku tidak suka kotak? Karena ketika kita menciptakan sudut, kita sebenarnya sedang membuat penjara bagi diri kita sendiri, dan juga orang-orang yang berada di dalam kotak bersama kita. Semoga kelak, aku bisa benar-benar keluar dari kotak.