Hari Raya memang hanya setahun sekali, tapi sesak yang dibawanya bisa terasa hingga hari raya berikutnya. Hari Raya adalah saat dimana kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, setor prestasi atau mati. Aku ingat, hari raya beberapa tahun lalu, saat aku dan sepupu-sepupu masih duduk di Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah.
Kala itu, prestasi seorang bocah diukur dari urutan nilai-nilai mata pelajarannya di kelas. Tak ada yang mengukur prestasinya dari seberapa banyak buku yang dibacanya atau seberapa banyak ia membantu orangtuanya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan muka orangtua adalah dengan ranking dan nilai rapor.
Ada jalan lain untuk menyelamatkan muka jika prestasimu sedang tidak bagus ketika sedang di-hisab di hari raya. Mengemis pemakluman. Seperti yang kulakukan sekali dulu, diwaktu hari raya saat aku duduk di tahun pertama Sekolah Menengah. Aku tak bernafsu bercerita panjang lebar mengenai hal ini, mengenai caraku mengemis pemakluman. Singkatnya, aku berkata bahwa aku sedang puber dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sekolah baru.
Tahun demi tahun aku berhasil menyetor prestasi yang membuat orangtuaku masih bisa mengangkat muka. Nilai rata-rata delapan koma lima. Masuk perguruan tinggi ternama. Tahun ini aku menyetor 'skripsi di tahun ketiga'. Aku tak tahu prestasi apa lagi yang bisa kusetor tahun depan. Aku kehabisan ide. Mungkin hari raya tahun depan pertanyaan para Mungkar-Nakir dunia itu akan berkembang dari cuma sekedar 'kapan lulus' menjadi 'sekarang kerja apa'. Dan mereka tidak akan memandang pekerjaan apapun yang begaji dibawah satu-setengah-juta.
Seorang sepupu dikucilkan orangtuanya dengan cara dilarang ikut 'yaumul hisab' - hari ketika semua amalan baik dan buruk kita di dadahkan dihadapan kita- karena bertahun-tahun ia wan-prestasi. Sepupuku tersayang ini baru menyelesaikan kuliahnya di usia dua puluh enam, dengan IP pas-pasan. Sudah setahun ia menganggur tanpa pekerjaan. Ah, aku yakin sebenarnya banyak perusahaan yang menanti Sarjana Teknik seperti dia, jika saja 'Keluarga Besar' tak menghendaki pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng.
Aku dihantui rasa was-was tentang apa yang akan terjaadi di hari raya tahun depan ketika aku baru tiga hari yang lalu memberi setoran. Aku was-was akan hari depan. Bagaimana jika skripsiku tak selesai di akhir semester? Bagaimana jika aku tak bisa mendapat pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng? Dan, yang paling kutakutkan, Bagaimana cara aku menjawab pertanyaan, "Pacarnya kerja apa? Kapan dilamar?"
DAMN!
Kala itu, prestasi seorang bocah diukur dari urutan nilai-nilai mata pelajarannya di kelas. Tak ada yang mengukur prestasinya dari seberapa banyak buku yang dibacanya atau seberapa banyak ia membantu orangtuanya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan muka orangtua adalah dengan ranking dan nilai rapor.
Ada jalan lain untuk menyelamatkan muka jika prestasimu sedang tidak bagus ketika sedang di-hisab di hari raya. Mengemis pemakluman. Seperti yang kulakukan sekali dulu, diwaktu hari raya saat aku duduk di tahun pertama Sekolah Menengah. Aku tak bernafsu bercerita panjang lebar mengenai hal ini, mengenai caraku mengemis pemakluman. Singkatnya, aku berkata bahwa aku sedang puber dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sekolah baru.
Tahun demi tahun aku berhasil menyetor prestasi yang membuat orangtuaku masih bisa mengangkat muka. Nilai rata-rata delapan koma lima. Masuk perguruan tinggi ternama. Tahun ini aku menyetor 'skripsi di tahun ketiga'. Aku tak tahu prestasi apa lagi yang bisa kusetor tahun depan. Aku kehabisan ide. Mungkin hari raya tahun depan pertanyaan para Mungkar-Nakir dunia itu akan berkembang dari cuma sekedar 'kapan lulus' menjadi 'sekarang kerja apa'. Dan mereka tidak akan memandang pekerjaan apapun yang begaji dibawah satu-setengah-juta.
Seorang sepupu dikucilkan orangtuanya dengan cara dilarang ikut 'yaumul hisab' - hari ketika semua amalan baik dan buruk kita di dadahkan dihadapan kita- karena bertahun-tahun ia wan-prestasi. Sepupuku tersayang ini baru menyelesaikan kuliahnya di usia dua puluh enam, dengan IP pas-pasan. Sudah setahun ia menganggur tanpa pekerjaan. Ah, aku yakin sebenarnya banyak perusahaan yang menanti Sarjana Teknik seperti dia, jika saja 'Keluarga Besar' tak menghendaki pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng.
Aku dihantui rasa was-was tentang apa yang akan terjaadi di hari raya tahun depan ketika aku baru tiga hari yang lalu memberi setoran. Aku was-was akan hari depan. Bagaimana jika skripsiku tak selesai di akhir semester? Bagaimana jika aku tak bisa mendapat pekerjaan mentereng dengan gaji segambreng? Dan, yang paling kutakutkan, Bagaimana cara aku menjawab pertanyaan, "Pacarnya kerja apa? Kapan dilamar?"
DAMN!
Komentar
Posting Komentar