Langsung ke konten utama

On Clousure


Terkadang, sebuah hubungan hanya tidak berhasil, begitu saja. Tanpa kesalahan, tanpa penjelasan. Seperti kuntum-kuntum mawar yang tiba-tiba layu meskipun telah diusahakan begitu rupa. Kuntum-kuntum mawar telah dipupuk, disiram, dibelai dan dicintai setiap hari namun tetap saja mati. Sometimes, some people are lucky enough to get some clousure. Kalimat perpisahan yang menjadi titik pada kisah, yang kadang panjang kadang sekedarnya saja. Namun pada orang-orang yang kurang beruntung dalam berkisah cinta, kalimat penutup itu pun tak layak didapatkannya. Aku bisa dibilang salah satu dari ribuan ngengat-ngengat tak beruntung itu. Kalimat penutupan panjang mendayu-dayu, penjelasan permintaan pengertian, lalu pelukan pamitan, semua itu hanyalah angan semu yang hidup dalam imajinasi kami saja, ngengat-ngengat fakir cinta. 

Jika waktunya tiba untuk memberi tanda titik pada sebuah hubungan dan aku tidak mendapatkannya, maka aku akan membuat ritual au revoir ku sendiri. Biasanya dimulai dengan mendengarkan musik favoritku dan mantan kekasihku, menyadari bahwa kelak kami akan menghayati musik yang berbeda. Musik, adalah bagian paling kultus buatku saat berada pada suatu hubungan. Seperti kami sedang berbicara tanpa kata, hanya duduk berbagi headset, mendengarkan lagu yang sama, berbagi kesenduan yang sama, berbagi perasaan yang menjalar pelan-pelan dari dada, turun menuju ujung-ujung jari kami, saling mengejawantahkan jiwa masing-masing. Aku suka duduk berlama-lama bersebelahan mendengarkan musik di stasiun bis sebuah kota antah berantah, di sebuah bekas dermaga yang terbengkalai terlupakan, di tepi laut dengan ombak berdebur membasahi kemeja kami. Maka, mendengarkan seluruh lagu yang pernah kami dengarkan, dimana saja, sambil melakukan apa saja, adalah ritual pertamaku untuk menyusun kalimat-kalimat penutupku sendiri dan jika aku sudah sanggup mendengar semua lagu itu tanpa menangis tersedak-sedak, maka aku siap untuk melanjutkan ke ritual selanjutnya : menapaktilasi tempat-tempat kenangan. 

Saat berada pada sebuah hubungan, aku selalu menikmati jalan kaki ke berbagai tempat yang membuatku damai. Aku tak pernah suka berkencan di mall, di tempat ramai, konser musik, atau apapun yang mengharuskan kami bertemu dengan sekerumunan orang. Aku suka berjalan berdua di taman yang sepi pada suatu pagi yang mendung. Aku suka berjalan berdua di kampusku pada pukul tujuh pagi. Berjalan bersisian, menceritakan apa saja. Aku suka menikmati kopi berdua pada cafe yang sepi, tanpa berbicara apapun, being alone together. Aku akan menyusuri tempat-tempat dimana kami pernah berbicara sambil berjalan dan bergandengan tangan. Toko-toko buku, sudut-sudut kota yang jarang dijelajahi, Kampung Ilmu, Jalan Gula, atau mana saja tempat yang pernah memberikan kenangan yang menyenangkan. Aku akan duduk berjam-jam di cafe favorit kami, membaca buku, menulis puisi, atau hanya menikmati rokok dan pemandangan sekitar. Akan lebih menyenangkan jika gerimis tiba-tiba datang, memberikan perasaan sendu dan kesakitan yang candu.

Tahap selanjutnya, sekaligus terakhir, dari upayaku merajut kalimat-kalimat penutup dari sebuah hubungan adalah memandang langit-langit kamarku dengan lampu oranye dan bintang-bintang fluoresense hijau muda, dan mengingat semua hal yang pernah kami lakukan. Setiap kata-kata manis, setiap pertengkaran, setiap janji-janji yang telanjur terucap namun kini melayang terkatung-katung antara langit dan bumi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedang Sinis

Ada seorang kawan yang berkata padaku, "Kau sinis sekali" "Sinis terhadap?" tanyaku. "Semuanya. Pada hidup" jawabnya. Yah, siapa yang tidak jadi sinis jika melihat keadaan sekeliling? Tapi sesungguhnya, aku merasa bahwa tidak sinis pada hidup. Hidup itu berkah. Setiap lembar nafas adalah kesempatan. Mungkin keadaan yang menjadikan aku sinis, mungkin aku yang terlalu melankolis. Entahlah. Kalau ingat perkataan kawanku ini, aku jadi tergelitik untuk menuliskan hal-hal yang ku tanggapi dengan sinis. Siapa tahu setelah membaca tulisanku, aku bisa memutuskan, apakah memang aku sinis pada hidup atau kenyataan. Aku jelas-jelas skeptis pada sistem. Sistem di negara ini, mulai sistem tata kota hingga pendidikan, tidak akan pernah membaik. Sudah terlalu terlambat untuk 'menyembuhkan' penyakit negara ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Dan, yah, menyesuaikan diri. Aku benci mengatakan hal ini tapi ini kenyataan. Berapa banyak orang idealis bisa b

Tentang Outta Box

Kau tahu sebuah kotak? Apa yang terjadi ketika kau masuk ke dalamnya? Gelap? Sempit? Atau mungkin kau merasa nyaman? Yang jelas,, aku tidak Aku benci terkotak-kotak. Dan orang-orang yang membuat kotak. Yah, yang jelas Tuhan juga tidak suka kotak. Dia membuat dunia ini bundar, bukan? Kau tau kenapa aku tidak suka kotak? Karena ketika kita menciptakan sudut, kita sebenarnya sedang membuat penjara bagi diri kita sendiri, dan juga orang-orang yang berada di dalam kotak bersama kita. Semoga kelak, aku bisa benar-benar keluar dari kotak.