Gurat senyum yang sama, garis wajah yang sama, cara tertawa yang sama, aroma tubuh yang sama, kelembutan yang sama. Mungkin Tuhan tengah menguji sekaligus menghukumku karena pernah menyiksamu dengan cinta yang tak mungkin. Ia kini balik menyiksaku dengan sosokmu yang berdiri dekat, namun tak tergapai. Kukenal, tapi begitu jauh. Kucintai setengah mati, tapi begitu tiada. Kepedihan yang kulemparkan kepelukanmu berabad lalu kini menemukan jalan pulang ke dadaku. Air matamu yang kutumpahkan dulu kini memutar dan jatuh dari mataku. Aku mencintaimu, ternyata masih sangat mencintaimu, aku menyadarinya karena tiba-tiba aku mencintainya. Sedalam dan segawat itu. Sesakit itu. Sesesak itu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Jika mencintaimu adalah nyala api, maka akan kutenun selimut darinya. Biar hangus tubuhku. Biar lantak tulangku. Biar habis aku. Biar kau dan dia tahu, aku sehancur itu mencintaimu.
Ada seorang kawan yang berkata padaku, "Kau sinis sekali" "Sinis terhadap?" tanyaku. "Semuanya. Pada hidup" jawabnya. Yah, siapa yang tidak jadi sinis jika melihat keadaan sekeliling? Tapi sesungguhnya, aku merasa bahwa tidak sinis pada hidup. Hidup itu berkah. Setiap lembar nafas adalah kesempatan. Mungkin keadaan yang menjadikan aku sinis, mungkin aku yang terlalu melankolis. Entahlah. Kalau ingat perkataan kawanku ini, aku jadi tergelitik untuk menuliskan hal-hal yang ku tanggapi dengan sinis. Siapa tahu setelah membaca tulisanku, aku bisa memutuskan, apakah memang aku sinis pada hidup atau kenyataan. Aku jelas-jelas skeptis pada sistem. Sistem di negara ini, mulai sistem tata kota hingga pendidikan, tidak akan pernah membaik. Sudah terlalu terlambat untuk 'menyembuhkan' penyakit negara ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Dan, yah, menyesuaikan diri. Aku benci mengatakan hal ini tapi ini kenyataan. Berapa banyak orang idealis bisa b
Komentar
Posting Komentar