Langsung ke konten utama

jengah

oh, halo. sudah cukup lama aku tidak menuliskan sampah-sampah yang berserakan di pikiranku sehingga kini aku lumayan bimbang untuk memulai dari mana.

ba ik lah. ini dia

hidup telah meniup perahuku jauh dari tujuan yang telah kurencanakan semula, tujuan yang dulu pernah kupertimbangkan masak-masak dengan menghitung arah angin dan kecepatan gelombang. hidup sedang bersekongkol dengan waktu sehingga aku kini terasing dari tujuan mulaku. pantaiku telah terlepas dari jangkauan penglihatanku dan kini perahuku masih gamang menentukan arah kemudinya untuk kemudian melihat dermaga-dermaga lain.

aku kini tengah menjadi apa yang telah kuidamkan sejak lama, menjadi seorang barista. menjadi barista sebenarnya telah kuperhitungkan sejak lama, sejak hidup meniup perahuku ke arah Surabaya. yang tidak kuperhitungkan adalah perubahan-perubahan yang harus kubuat demi agar perahuku tetap melaju.

keterasingan

aku kini bahkan terasing dari diriku sendiri. aku sedang tidak benar-benar tahu apa yang aku inginkan, apa yang aku butuhkan. aku hanya mengikuti arah angin yang ditiupkan kehidupan justru ketika aku sedang ingin sandar. banyak hal yang mengubahku hingga aku kini tak yakin siapakah yang balas menatapku dari cermin. aku kini mencurigai segala keinginan-keinginan, semua kemungkinan. aku mencurigai diriku sendiri karena aku tahu bahwa aku bisa begitu manipulatif bahkan terhadap diriku sendiri. namun aku masih tetap bersyukur bahwa hidup dan waktu telah berpadu dan membawaku ke tempat ini, dimana aku bertahan hidup dengan menghirup aroma kopi.

sebenarnya aku ingin menuliskan banyak hal malam ini. tentang perempuan dan laki-laki yang dihakimi, tentang karakter yang mati sore tadi. tapi tiba-tiba kecurigaanku terhadap keinginan-keinginanku menyergap bagai pekat yang tiba-tiba menelan senja. kecurigaanku bertanya kepada ketulusan dan akal sehatku. ia mempertanyakan motif, mempertanyakan untung-rugi, menyerukan betapa keinginanku tidak menarik dan menjengahkan.

jadi, mungkin ketika kecurigaanku tidur nanti, baru aku akan menuliskan lebih banyak tentang perahuku. tentang hal-hal yang kulihat saat aku duduk sendirian di haluan perahuku saat senja. tentang hal-hal yang kuperhatikan meski lalu membuatku jadi sedih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Outta Box

Kau tahu sebuah kotak? Apa yang terjadi ketika kau masuk ke dalamnya? Gelap? Sempit? Atau mungkin kau merasa nyaman? Yang jelas,, aku tidak Aku benci terkotak-kotak. Dan orang-orang yang membuat kotak. Yah, yang jelas Tuhan juga tidak suka kotak. Dia membuat dunia ini bundar, bukan? Kau tau kenapa aku tidak suka kotak? Karena ketika kita menciptakan sudut, kita sebenarnya sedang membuat penjara bagi diri kita sendiri, dan juga orang-orang yang berada di dalam kotak bersama kita. Semoga kelak, aku bisa benar-benar keluar dari kotak.

Setoran Hari Raya

Hari Raya memang hanya setahun sekali, tapi sesak yang dibawanya bisa terasa hingga hari raya berikutnya. Hari Raya adalah saat dimana kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, setor prestasi atau mati. Aku ingat, hari raya beberapa tahun lalu, saat aku dan sepupu-sepupu masih duduk di Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah. Kala itu, prestasi seorang bocah diukur dari urutan nilai-nilai mata pelajarannya di kelas. Tak ada yang mengukur prestasinya dari seberapa banyak buku yang dibacanya atau seberapa banyak ia membantu orangtuanya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan muka orangtua adalah dengan ranking dan nilai rapor. Ada jalan lain untuk menyelamatkan muka jika prestasimu sedang tidak bagus ketika sedang di-hisab di hari raya. Mengemis pemakluman. Seperti yang kulakukan sekali dulu, diwaktu hari raya saat aku duduk di tahun pertama Sekolah Menengah. Aku tak bernafsu bercerita panjang lebar mengenai hal ini, mengenai caraku mengemis pemakluman. Singkatnya, aku berkata bahwa aku se...

Janji yang Tidak (mungkin) Ditepati

Tentang Janji Dalam hidup, kita sering membuat janji dengan berbagai latar belakang dan alasan. Kadang untuk alasan yang tulus, kadang untuk memanipulasi keadaan. Kadang dilakukan dengan penuh tekad, kadang hanya seperempat hati. Kadang pula terucap hanya demi melihat seulas senyum atau secercah harapan di mata orang yang kita kasihi. Kadang janji-janji itu masuk akal dan mudah dipenuhi, kadang lebih rumit saat kuasa untuk menepati janji itu sesungguhnya bukan milik kita. Misalnya, janji untuk tak akan pernah meninggalkan ia yang tercinta. Atau ia yang mencintai kita. Itu adalah tipe janji yang bukan kekuasaan kita seorang untuk memenuhinya. Janji untuk selalu membahagiakan, janji untuk menyempurnakan, janji untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil agar tak menjadi besar, janji untuk selalu ada saat ia butuh, janji untuk menjadi tempat sandaran yang terucap karena belas kasihan sebagai sesama manusia. Menurut saya, janji-janji semacam inilah yang sebaiknya tidak diucapkan. B...