Langsung ke konten utama

Katanya Tere Liye, daun yang jatuh tak pernah membenci angin

Melepaskan

Bertentangan dengan saran seorang kawan yang biasanya senantiasa saya dengar (dan turuti), saat ke toko buku tadi saya nekat mencomot Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Ada selintas harapan yang meluap luap ketika memilih buku Ini. Berharap akhirnya menemukan jawaban. Berharap setelah membaca buku ini, berakhir seluruh kepedihan lalu hidup tercerahkan.

Harapan saya tidak sepenuhnya terpenuhi, tapi saya bukannya tidak mendapat apa-apa.

Semua kata-kata bijak yang tersisip di novel ini bukannya tak pernah saya dengar. Otak saya pun tidak terlalu lemah untuk memproses satu dua kalimat motivasi dan setuju dengan kalimat- kalimat itu.

Yang saya tak pernah tau adalah, teryata saya bukan tak tau tapi tak mau.

Saya tau bahwa hidup memang penuh kepedihan dan kesedihan. Tapi saya tak pernah mau untuk sejenak memahami, mengapa harus seperti itu? Bukankah Tuhan lebih dari mampu untuk membuat semua umatnya bahagia? Yang saya tidak tahu adalah bahwa hidup memang harus seperti itu agar semua orang bisa belajar satu hal paling sulit paling rumit dari seluruh proses kehidupan:

Merelakan. Mengikhlaskan

Ikhlas tak dapat dibentuk dari udara seperti kata-kata. Ia dibentuk dalam diam, dalam pemaknaan. Seseorang yang terus menerus berkata bahwa ia ikhlas sesungguhnya bahkan tidak memahami apa definisi ikhlas. Seseorang yang terus menerus berkata bahwa ia sudah move on, sesungguhnya ia yang paling gagal move on.

Orang demikian adalah orang yang menyedihkan. Yang lebih menyedihkan adalah, saya kenal orang itu; ia menatap saya tiap saya bercermin.

Beberapa waktu yang lalu, saya patah hati begitu hebatnya sehingga saya tak pernah yakin bahwa saya akan bisa bahagia lagi. Saya demikian patah sehingga tak mampu melihat apapun secara utuh.

Saya mulai melihat serpihan-serpihan dan berharap serpihan-serpihan itu akan menutup kekosongan. Lubang besar kosong di dalam diri saya. Dagu yang sama, mata yang mirip, senyum yang sama hangat, bahkan inisial nama depan yang sama. Di saat-saat mengerikan dalam hidup saya, saya mencari serpihan-serpihan yang sudah hancur lalu berharap keajaiban terjadi dan serpihan-serpihan itu utuh kembali.

Serpihan-serpihan yang saya punguti secara serampangan itu membunuh saya seperti kata-katak yang direbus perlahan. Menyakiti diri tanpa menyadari, tau-tau mati. Maka inilah yang saya pikirkan setelah membaca Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin:

Seseorang tak bisa terus menerus berharap pecahan-pecahan kaca yang berbeda-beda akan membentuk mangkuk utuh yang sama. 

Saat mangkuk yang benar-benar kau sukai pecah, remuk, kau tak bisa terus menerus berusaha menyatukannya lagi menjadi mangkuk biru favoritmu. Kau harus mencari mangkuk baru yang mungkin sama biru, mungkin pula jingga. Mangkuk baru yang mungkin punya guratan yang sama, namun tak mungkin ada yang mampu mengembalikan apa-apa yang sudah pecah. Pilih saja satu yang kau suka, tanpa memandang apa-apa yang sama.

Semakin kau mencari kesamaan antara yang telah hilang dengan yang akan datang, maka semakin kecewalah kau saat menyadari bahwa manusia tidak bisa menghidupkan kenangan.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Outta Box

Kau tahu sebuah kotak? Apa yang terjadi ketika kau masuk ke dalamnya? Gelap? Sempit? Atau mungkin kau merasa nyaman? Yang jelas,, aku tidak Aku benci terkotak-kotak. Dan orang-orang yang membuat kotak. Yah, yang jelas Tuhan juga tidak suka kotak. Dia membuat dunia ini bundar, bukan? Kau tau kenapa aku tidak suka kotak? Karena ketika kita menciptakan sudut, kita sebenarnya sedang membuat penjara bagi diri kita sendiri, dan juga orang-orang yang berada di dalam kotak bersama kita. Semoga kelak, aku bisa benar-benar keluar dari kotak.

Setoran Hari Raya

Hari Raya memang hanya setahun sekali, tapi sesak yang dibawanya bisa terasa hingga hari raya berikutnya. Hari Raya adalah saat dimana kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, setor prestasi atau mati. Aku ingat, hari raya beberapa tahun lalu, saat aku dan sepupu-sepupu masih duduk di Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah. Kala itu, prestasi seorang bocah diukur dari urutan nilai-nilai mata pelajarannya di kelas. Tak ada yang mengukur prestasinya dari seberapa banyak buku yang dibacanya atau seberapa banyak ia membantu orangtuanya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan muka orangtua adalah dengan ranking dan nilai rapor. Ada jalan lain untuk menyelamatkan muka jika prestasimu sedang tidak bagus ketika sedang di-hisab di hari raya. Mengemis pemakluman. Seperti yang kulakukan sekali dulu, diwaktu hari raya saat aku duduk di tahun pertama Sekolah Menengah. Aku tak bernafsu bercerita panjang lebar mengenai hal ini, mengenai caraku mengemis pemakluman. Singkatnya, aku berkata bahwa aku se...

Janji yang Tidak (mungkin) Ditepati

Tentang Janji Dalam hidup, kita sering membuat janji dengan berbagai latar belakang dan alasan. Kadang untuk alasan yang tulus, kadang untuk memanipulasi keadaan. Kadang dilakukan dengan penuh tekad, kadang hanya seperempat hati. Kadang pula terucap hanya demi melihat seulas senyum atau secercah harapan di mata orang yang kita kasihi. Kadang janji-janji itu masuk akal dan mudah dipenuhi, kadang lebih rumit saat kuasa untuk menepati janji itu sesungguhnya bukan milik kita. Misalnya, janji untuk tak akan pernah meninggalkan ia yang tercinta. Atau ia yang mencintai kita. Itu adalah tipe janji yang bukan kekuasaan kita seorang untuk memenuhinya. Janji untuk selalu membahagiakan, janji untuk menyempurnakan, janji untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil agar tak menjadi besar, janji untuk selalu ada saat ia butuh, janji untuk menjadi tempat sandaran yang terucap karena belas kasihan sebagai sesama manusia. Menurut saya, janji-janji semacam inilah yang sebaiknya tidak diucapkan. B...