Langsung ke konten utama

Postingan

On Clousure

Terkadang, sebuah hubungan hanya tidak berhasil, begitu saja. Tanpa kesalahan, tanpa penjelasan. Seperti kuntum-kuntum mawar yang tiba-tiba layu meskipun telah diusahakan begitu rupa. Kuntum-kuntum mawar telah dipupuk, disiram, dibelai dan dicintai setiap hari namun tetap saja mati. Sometimes, some people are lucky enough to get some clousure. Kalimat perpisahan yang menjadi titik pada kisah, yang kadang panjang kadang sekedarnya saja. Namun pada orang-orang yang kurang beruntung dalam berkisah cinta, kalimat penutup itu pun tak layak didapatkannya. Aku bisa dibilang salah satu dari ribuan ngengat-ngengat tak beruntung itu. Kalimat penutupan panjang mendayu-dayu, penjelasan permintaan pengertian, lalu pelukan pamitan, semua itu hanyalah angan semu yang hidup dalam imajinasi kami saja, ngengat-ngengat fakir cinta.  Jika waktunya tiba untuk memberi tanda titik pada sebuah hubungan dan aku tidak mendapatkannya, maka aku akan membuat ritual au revoir ku sendiri. Biasanya dimulai dengan men
Postingan terbaru

Dear, John

Gurat senyum yang sama, garis wajah yang sama, cara tertawa yang sama, aroma tubuh yang sama, kelembutan yang sama. Mungkin Tuhan tengah menguji sekaligus menghukumku karena pernah menyiksamu dengan cinta yang tak mungkin. Ia kini balik menyiksaku dengan sosokmu yang berdiri dekat, namun tak tergapai. Kukenal, tapi begitu jauh. Kucintai setengah mati, tapi begitu tiada. Kepedihan yang kulemparkan kepelukanmu berabad lalu kini menemukan jalan pulang ke dadaku. Air matamu yang kutumpahkan dulu kini memutar dan jatuh dari mataku. Aku mencintaimu, ternyata masih sangat mencintaimu, aku menyadarinya karena tiba-tiba aku mencintainya. Sedalam dan segawat itu. Sesakit itu. Sesesak itu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Jika mencintaimu adalah nyala api, maka akan kutenun selimut darinya. Biar hangus tubuhku. Biar lantak tulangku. Biar habis aku. Biar kau dan dia tahu, aku sehancur itu mencintaimu. 

Janji yang Tidak (mungkin) Ditepati

Tentang Janji Dalam hidup, kita sering membuat janji dengan berbagai latar belakang dan alasan. Kadang untuk alasan yang tulus, kadang untuk memanipulasi keadaan. Kadang dilakukan dengan penuh tekad, kadang hanya seperempat hati. Kadang pula terucap hanya demi melihat seulas senyum atau secercah harapan di mata orang yang kita kasihi. Kadang janji-janji itu masuk akal dan mudah dipenuhi, kadang lebih rumit saat kuasa untuk menepati janji itu sesungguhnya bukan milik kita. Misalnya, janji untuk tak akan pernah meninggalkan ia yang tercinta. Atau ia yang mencintai kita. Itu adalah tipe janji yang bukan kekuasaan kita seorang untuk memenuhinya. Janji untuk selalu membahagiakan, janji untuk menyempurnakan, janji untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil agar tak menjadi besar, janji untuk selalu ada saat ia butuh, janji untuk menjadi tempat sandaran yang terucap karena belas kasihan sebagai sesama manusia. Menurut saya, janji-janji semacam inilah yang sebaiknya tidak diucapkan. B

Daftar Kesedihan

Beberapa waktu belakangan ini, saya sering tiba-tiba merasa sedih. Parahnya, beberapa kesedihan tidak dapat saya pahami. Mungkin dengan menuliskan dan membuat daftarnya saya bisa setidaknya memahami hati sendiri. Maka maafkan, jika post kali ini sendu mendayu-dayu macam lagu melayu. However, here we go 1. Sedih karena kuliah nggak selesai-selesai. Saya bahkan bingung harus mulai darimana. Mau begini tak enak, begitu tak nyaman. Maksudnya, mau ketemu dosen sungkan, tak mau bertemu tapi butuh bantuan. 2. Sedih karena mama diteror orang-orang dengan pertanyaan: Kapan mbak Intan nikah?. Ah kampretlah. Kalau pengen saya nikah, duhai ibu-ibu dan bapak-bapak yang budiman, bawakanlah saya lelaki mapan seiman sayang keluarga dan mau menerima saya apa adanya. Hari itu juga nikah ayo aja. Kampret. Hush. 3. Sedih karena seseorang yang tiba-tiba datang, tiba-tiba menghilang. Ah tapi inipun kesedihan yang sudah begitu saya hafal. Saya hanya berekspektasi terlalu tinggi kali ini. Saya kira s

Katanya Tere Liye, daun yang jatuh tak pernah membenci angin

Melepaskan Bertentangan dengan saran seorang kawan yang biasanya senantiasa saya dengar (dan turuti), saat ke toko buku tadi saya nekat mencomot Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Ada selintas harapan yang meluap luap ketika memilih buku Ini. Berharap akhirnya menemukan jawaban. Berharap setelah membaca buku ini, berakhir seluruh kepedihan lalu hidup tercerahkan. Harapan saya tidak sepenuhnya terpenuhi, tapi saya bukannya tidak mendapat apa-apa. Semua kata-kata bijak yang tersisip di novel ini bukannya tak pernah saya dengar. Otak saya pun tidak terlalu lemah untuk memproses satu dua kalimat motivasi dan setuju dengan kalimat- kalimat itu. Yang saya tak pernah tau adalah, teryata saya bukan tak tau tapi tak mau. Saya tau bahwa hidup memang penuh kepedihan dan kesedihan. Tapi saya tak pernah mau untuk sejenak memahami, mengapa harus seperti itu? Bukankah Tuhan lebih dari mampu untuk membuat semua umatnya bahagia? Yang saya tidak tahu adalah bahwa hidup memang harus sep

Lima

  semuanya adalah pita-pita yang ku ikat di pohon depan rumah seorang asing   #1 Aku menggambar jejak dari bayanganmu yang tertinggal saat kau pamit pergi mengembara                                 Katamu Utara, mencari resah, mencari desah Kutiupkan ruh pada jejak-jejak itu, sehingga aku tak bisa lagi melihat bahteramu, sungai yang melenyapkan aroma tubuhmu #2 Aku menggambar harapan berdasarkan siluet tubuhmu, karena aku tahu tak ada doa yang lebih megah selain melihatmu pulang membawa daun kuning yang kau petik di tengah musim Kubentuk angan-angan dari senyummu , lalu kukecupkan pada bibir-bibir asing                                 Aku selalu berharap kelak bibir-bibir itu berubah menjadi bibirmu, agar aku tak perlu lagi berebut mengecup bibirmu dengan angin pantaimu #3 Tak ada yang kugenapi selain menara pasir yang kubangun di gigir pantai dimana kita pernah berbaring terlentang, menitipkan nama kita pada bintang-bintang Tak ada yang kaugenapi sel

jengah

oh, halo. sudah cukup lama aku tidak menuliskan sampah-sampah yang berserakan di pikiranku sehingga kini aku lumayan bimbang untuk memulai dari mana. ba ik lah. ini dia hidup telah meniup perahuku jauh dari tujuan yang telah kurencanakan semula, tujuan yang dulu pernah kupertimbangkan masak-masak dengan menghitung arah angin dan kecepatan gelombang. hidup sedang bersekongkol dengan waktu sehingga aku kini terasing dari tujuan mulaku. pantaiku telah terlepas dari jangkauan penglihatanku dan kini perahuku masih gamang menentukan arah kemudinya untuk kemudian melihat dermaga-dermaga lain. aku kini tengah menjadi apa yang telah kuidamkan sejak lama, menjadi seorang barista. menjadi barista sebenarnya telah kuperhitungkan sejak lama, sejak hidup meniup perahuku ke arah Surabaya. yang tidak kuperhitungkan adalah perubahan-perubahan yang harus kubuat demi agar perahuku tetap melaju. keterasingan aku kini bahkan terasing dari diriku sendiri. aku sedang tidak benar-benar tahu apa yang